Minggu, 22 Maret 2015
Ruqyah Syar'iyah | Tempat Ruqyah Pekanbaru Call 0853 7521 5640
Definisi Ruqyah
Ruqyah menurut bahasa, yaitu رَقَى يَرْقِيْ
رُقْيًا وَرُقْيَةً artinya memohon perlindungan عَوَّذَهُ أَوْ بِمَعْنَى التَّعْوِيْذِ.
Sedangkan menurut syari’at adalah mengobati seseorang dari penyakit fisik dan
penyakit kejiwaan dengan doa-doa yang disyari’atkan Al-Qur’an dan Hadits
Rasulullah SAW. atau dengan bahasa Arab yang artinya bersesuaian dengan
Al-Qur’an dan Hadits.
Landasan
Hukum Ruqyah Syar’iyyah
Dalil
dari Al-Qur’an:
1.
QS.
Al-Israa’ ayat 82, Allah SWT berfirman:
Dan kami turunkan dari Al Quran
suatu yang menjadi penawar dan rahmat bagi orang-orang yang beriman dan Al
Quran itu tidaklah menambah kepada orang-orang yang zalim selain kerugian.
2.
QS. Fushshilat
ayat 44
Dan Jikalau kami jadikan Al Quran
itu suatu bacaan dalam bahasa selain Arab, tentulah mereka mengatakan:
"Mengapa tidak dijelaskan ayat-ayatnya?" apakah (patut Al Quran)
dalam bahasa asing sedang (rasul adalah orang) Arab? Katakanlah: "Al Quran
itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang mukmin. dan orang-orang yang
tidak beriman pada telinga mereka ada sumbatan, sedang Al Quran itu suatu
kegelapan bagi mereka, mereka itu adalah (seperti) yang dipanggil dari tempat
yang jauh".
3.
QS. Yunus
ayat 57
Hai manusia, Sesungguhnya Telah
datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit
(yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi orang-orang yang
beriman.
Ibnu Qoyyim rahimahullah
berkata :
Al-Qur’an adalah obat yang sempurna
untuk mengobati berbagai penyakit hati dan badan, juga untuk penyakit dunia dan
akhirat. Namun tidak semua orang diberikan keahlian dan kemampuan serta taufiq
oleh Allah untuk mengobati penyakit dengan Al-Qur’an. Jika seseorang yang sakit
melakukan pengobatan dengan ruqyah Al-Qur’an dan mengobati penyakitnya itu
dengan benar dan keyakinan yang mantap, sangat menerima tentang manfaat ruqyah,
memiliki keyakinan yang kuat dan memenuhi syarat-syarat ruqyah yang benar, maka
tidak aka nada suatu penyakit yang dapat melawannya.
Dalil dari
Sunnah Nabawiyah:
1.
Jibril ‘alaihissalam meruqyah
Nabi SAW. ketika dia bertanya: “Wahai Muhammad!Apakah engkau mengeluh karena
sakit?” Beliau SAW. menjawab: “Benar”. Kemudian Jibril ‘alaihissalam mengucapkan
doa:
بِسْمِ اللهِ أَرْقِـيْكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
يُؤْذِيْكَ، وَمِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ عَيْنٍ حَاسِـدٍ، اللهُ يَشْفِيْكَ،
بِسْمِ اللهِ أَرْقِـيْكَ
“Dengan
menyebut nama Allah aku meruqyahmu, dari segala sesuatu yang mengganggumu, dan
dari keburukan setiap jiwa atau mata yang dengki, Allah-lah Yang
Menyembuhkanmu, dengan menyebut nama Allah aku meruqyahmu.”[1]
Juga perkataan Jibril: مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيْكَ , yang artinya: “dari segala
sesuatu yang mengganggumu”, menunjukkan atas keumuman segala penyakit.
2.
Hadits yang diriwayatkan dari
‘Aisyah radhiyallahu ‘anha bahwa Rasulullah SAW. mengusap tempat yang
dirasa sakit oleh salah satu seorang di antara kami dengan tangan kanan beliau,
kemudian beliau mengucapkan doa:
أَذْهِبِ الْبَأْسَ رَبَّ النَّاسِ، اشْفِهِ
أَنْتَ الشَّافِي، لاَ شِفَاءَ إِلاَّ شِفَاؤُكَ، شِفَاءً لاَ يُغَادِرُ سَقَمًا
“Hilangkanlah
penyakit Wahai Rabb-nya manusia, sembuhkanlah ia (yang sakit), Engkau-lah Dzat
Yang Maha Menyembuhkan, tidak ada kesembuhan kecuali dari-Mu, dengan kesembuhan
yang tidak mening-galkan penyakit.”[2]
Doa
ini mencakup seluruh penyakit yang dikeluhkan.
3.
Di antara dalil yang lain adalah
riwayat dari sahabat ‘Utsman bin Abil ‘Aash Ats-Tsaqafy radhiyallahu ‘anhu, bahwa
dia mengeluh kepada Rasulullah SAW tentang sakit yang dirasakan ditubuhnya
sejak dia masuk Islam. Maka Rasulullah SAW. bersabda: ”Letakkan tanganmu
pada tubuh yang engkau rasa sakit, kemudian ucapkanlah: بِسْمِ اللهِ (3 kali) kemudian membaca doa:
أَعُوْذُ بِعِزَّةِ اللهِ وَقُدْرَتِهِ
مِنْ شَرِّ مَا أَجِدُ وَأُحَاذِرُ
“Aku berlindung kepada Allah Ta’ala
dengan kemuliaan dan kekuasaannya dari segala keburukan yang aku dapatkan dan
aku khawatirkan” (sebanyak 7 kali).[3]
4.
Di antara dalil yang lain adalah
hadits yang diriwayatkan oleh ‘Abdurrahman bin Al-Aswad dari bapaknya berkata:
“Aku berkata kepada ‘Aisyah tentang ruqyah karena sengatan binatang berbisa.
Maka ‘Aisyah menjawab: “Nabi SAW memperbolehkan untuk meruqyah dari setiap
sengatan binatang berbisa.”[4]
5.
Juga tentang kisah seorang laki-laki
dari kaum Anshar ketika terkena penyakit cacar, maka dia pun ditunjukkan bahwa
seseorang yang bernama Syifa binti ‘Abdullah pernah meruqyah karena penyakit
tersebut. Lalu laki-laki itu pun mendatangi Syifa dan meminta untuk
meruqyahnya. Syifa menjawab: “Demi Allah, aku tidak pernah meruqyah sejak aku
masuk Islam”. Maka orang Anshar tersebut pergi mendatangi Rasulullah SAW. lalu
menceritakan tentang apa yang dikatakan oleh Syifa. Lalu Rasulullah SAW
memanggil Syifa lalu beliau bersabda kepada Syifa: “Tunjukkanlah (cara
ruqyah itu) kepadaku”. Maka Syifa pun menunjukkannya kepada beliau,
kemudian Rasulullah SAW. bersabda: “Lakukan ruqyah kepadanya dan ajarilah
Hafshah tentang cara meruqyah sebagaimana engkau mengajarinya Al-Qur’an.”[5]
Beberapa Pandangan Para Ulama
tentang Ruqyah
Tentu pandangan ilmiah tentang ruqyah sangat luas, di
antaranya pendapat yang melarang orang yang meminta diruqyah, dengan
berlandaskan pada hadits berikut:
عَنْ عِقَارِ بْنِ
الْمُغِيْرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ أَبِيْهِ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: مَنِ اكْتَوَى أَوِ اسْتَرْقَى فَقَدْ بَرِئَ مِنَ التَّوَكُّلِ.
رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ
وَقَالَ حَدِيْثٌ حَسَنٌ صَحِيْحٌ
Dari
‘Iqar bin Al-Mughirah bin Syu’bah dari ayahnya berkata: Rasulullah SAW.
bersabda: “Barang siapa yang berobat menggunakan besi panas atau meminta
diruqyah maka telah keluar dari berserah diri kepada Allah.”[6]
Sedangkan
meruqyah diri sendiri, sebagaimana pendapat Ibnu Hajar, bahwa hukumnya boleh
dan telah menjadi kesepakatan para ulama, hanya saja ruqyah yang dilakukan
harus terpenuhi syarat-syaratnya;
- Harus firman Allah atau dengan nama-nama Allah yang baik.
- Atau bahasa Arab yang artinya sesuai dengan maksud dan tujuan Al-Qur’an serta Hadits.
- Meyakini bahwa ruqyah tidak berpengaruh dengan sendirinya, tetapi keterpengaruhannya karena ketetapan Allah.
Lebih
jauh para ulama berpendapat: terdapat dalil yang mem-bolehkan seseorang meminta
agar diruqyah, karena hal tersebut berkaitan dengan upaya seseorang untuk
meraih kesembuhan. Tentu meruqyah dengan diri sendiri lebih utama, tetapi
sebahagian orang ada yang memiliki keterbatasan ilmu pengetahuan syari’ah,
karenanya yang bersangkutan dapat meminta bantuan orang-orang yang shalih untuk
dapat meruqyah dirinya. Dan alasan lain yang menguatkan dibolehkannya seseorang
minta diruqyah, karena untuk menjaga orang tersebut dari mendatangi para dukun,
tukang sihir dan atau orang mengatasnamakan dirinya dapat mengobati, tetapi
sebenarnya mereka menggunakan pengobatan yang menggunakan unsur-unsur syirik,
dan para peruqyah syar’iyyah tentu dapat mencegah dari keterjatuhan seorang
muslim dari unsur yang menjadikan seseorang menjadi musyrik. Berikut dalil yang
membolehkan seseorang me-ruqyah dan diruqyah:
1. حديث بن عبان أَنَّهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ: كَانَ يَعُوْذُ الْحَسَنُ وَالْحُسَيْنُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّةِ مِنْ
كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ.
2. عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهَا أَنَّ
النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رأى في بيتها جارية في وجهها سفعة
فقال: استرقوا لها فإن بها النظرة.[7]
Dan Nabi
SAW. diruqyah pada keluhan sakitnya oleh malaikat Jibril dengan doa dalam
hadits riwayat Muslim:
بِسْمِ اللهِ
أَرْقِـيْكَ، مِنْ كُلِّ شَيْءٍ يُؤْذِيْكَ، وَمِنْ شَرِّ كُلِّ نَفْسٍ أَوْ
عَيْنٍ حَاسِـدٍ، اللهُ يَشْفِيْكَ، بِسْمِ اللهِ أَرْقِـيْكَ
Ada
beberapa hal yang berkaitan dengan ruqyah yang diisyaratkan oleh sebagian ulama
tentang bacaan ruqyah, apakah dapat meng-gunakan selain mu’awwidzatain?
Ibnu
Hajar ketika menulis bab pada salah satu penjelasan hadits Imam Al-Bukhari
mengatakan: بَابُ الرُّقَى بِالْقُرْآنِ وَالْمُعَوِّذَاتِ Bahwa surat yang termasuk dalam
Al-Mu’awwidzat terdiri dari surat Al-Falaq, An-Naas dan Al-Ikhlas, dan hal
tersebut dipahami pada umumnya. Dan dalam hadits lain dikatakan dari Ibnu
Mas’ud:
أَنَّ النَّبِيَّ
صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يُكْرِهُ عَشْرَ خِصَالٍ، فَذَكَرَ
فِيْهَا: الرُّقَى إِلاَّ بِالْمُعَوِّذَاتِ
Bahwa Nabi SAW. membenci terhadap sepuluh bagian, dan
disebutkan salah satunya, bahwa meruqyah hanya boleh dengan Al-Mu’awwidzat.
Terhadap
hal ini Imam Bukhari mengatakan: di dalam hadits terdapat seseorang yang
bernama ‘Abdurrahman bin Harmalah bahwa haditsnya tidak benar, atau dapat juga
dikatakan, kalaulah hadits tersebut benar, maka keberadaannya telah dihapus
oleh hadits yang mengatakan diizinkannya meruqyah dengan Al-Fatihah.
Dan terdapat pula dalil yang juga
mengisyaratkan bahwa setelah turunnya Al-Mu’awwidzatain, Nabi SAW. tidak lagi
menggunakan selainnya.
كَانَ رَسُوْلُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَعَوَّذُ مِنَ
الْجَانِّ وَ عَيْنِ الإِنْسَانِ حَتىَّ نَزَلَتْ الْمُعَوِّذَاتُ فَأَخَذَ بِهَا
وَتَرَكَ مَا سِوَاهَا.
Adalah Nabi SAW. berlindung dari jin dan kejahatan mata
manusia sampai pada turunnya surat Al-Mu’awwidzat, maka Nabi SAW.
menggunakannya dalam meruqyah dan meninggalkan selainnya (surat Al-Mu’awwidzat)
Tentu
hadits tersebut tidak dalam rangka melarang menggunakan selain mu’awwidzat,
tetapi bahwa menggunakan Al-Mu’awwidzat lebih diutamakan dan karena telah
banyak dalil dibolehkannya meruqyah selain dengan Al-Mu’awwidzat.
Aspek
lainnya bahwa Al-Mu’awwidzat lebih diutamakan karena pada surat Al-Falaq dan
An-Naas mengandung perlindungan yang lebih komplit dan sempurna dari segala
bentuk perlindungan dari hal yang dibenci secara global dan terinci.
Penyusun : Ahmad Husein Dahlan, Lc. MM
Penyusun : Ahmad Husein Dahlan, Lc. MM
[1]. HR. Muslim.
[2]. HR. Muslim.
[3]. HR. Imam Ahmad.
[4]. Yakni disebabkan karena sengatan binatang berbisa, seperti: ular
dan kalajengking. Dan hadits ini diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari.
[5].HR. Al-Hakim dalam kitab “Al-Mustadrak” dan
dishahihkan oleh Al-Albani dalam “Silsilah Al-Ahaadiits Ash-Shahiihah”,
no. 178.
[6]. HR.
Tirmidzi dalam kitab Ath-Thib, Bab Apa yang Membahas Makruh dalam Ruqyah, no.
hadits 2055 hal 344 jilid 4, Daar Kutub Al-‘Ilmiyah
[7]. HR. Bukhari, Bab Ruqyatil ‘Ain, Kitab Ath-Thib no.
5739.